A. PENGERTIAN GAYA BELAJAR
Menurut Fleming dan Mills (1992), gaya belajar
merupakan kecenderungan siswa untuk mengadaptasi strategi tertentu dalam
belajarnya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mendapatkan satu pendekatan
belajar yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah maupun tuntutan
dari mata pelajaran.
Menurut DePorter
dan Hernacki (2002), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur,
dan mengolah informasi. Terdapat
tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam
memproses informasi (perceptual modality).
Drummond (1998:186) mendefinisikan
gaya belajar sebagai, “an individual’s preferred mode and desired conditions of
learning.” Maksudnya, gaya belajar dianggap sebagai cara belajar atau kondisi
belajar yang disukai oleh pembelajar.
Willing (1988) mendefinisikan gaya belajar sebagai kebiasaan belajar yang
disenangi oleh pembelajar.
Keefe (1979) memandang gaya belajar sebagai cara seseorang dalam
menerima, berinteraksi, dan memandang lingkungannya.
Dunn dan Griggs
(1988) memandang gaya belajar sebagai karakter biologis bawaan.
Gaya belajar atau learning style adalah suatu
karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator
yang bertindak yang relatif stabil untuk pembelajar merasa saling berhubungan
dan bereaksi terhadap lingkungan belajar (NASSP
dalam Ardhana dan Willis, 1989 : 4).
Definisi yang lebih menjurus pada gaya belajar bahasa dan
yang dijadikan panduan pada penelitian ini dikemukakan oleh Oxford (2001:359) dimana gaya belajar
didefinisikan sebagai pendekatan yang digunakan peserta didik dalam belajar
bahasa baru atau mempelajari berbagai mata pelajaran.
B. MACAM-MACAM GAYA BELAJAR
1. Visual (belajar dengan cara
melihat)
Lirikan keatas bila berbicara, berbicara dengan cepat. Bagi siswa yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting
adalah mata/penglihatan (visual), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan
guru sebaiknya lebih banyak/dititikberatkan pada peragaan/media, ajak mereka ke
obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara
menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan
tulis. Anak yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan
ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk
duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan
gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan
tampilan-tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video.
Di dalam kelas, anak visual lebih suka mencatat sampai detil-detilnya untuk
mendapatkan informasi.
Ciri-ciri gaya belajar visual :
a.
Bicara agak cepat
b.
Mementingkan penampilan dalam
berpakaian/presentasi
c.
Tidak mudah terganggu oleh
keributan
d. Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar
e. Lebih suka membaca dari pada dibacakan
f.
Pembaca cepat dan tekun
g. Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi
tidak pandai memilih kata-kata
h. Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato
i.
Lebih suka musik dari pada seni
j.
Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis,
dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya.
Strategi untuk mempermudah proses
belajar anak visual :
1.
Gunakan materi visual seperti gambar-gambar,
diagram dan peta.
2.
Gunakan warna untuk mencatat
hal-hal penting.
3.
Ajak anak untuk membaca buku-buku
berilustrasi.
4. Gunakan multi-media (contohnya: komputer dan video).
5.
Ajak anak untuk mencoba
mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.
2. Auditori (belajar dengan cara mendengar)
Lirikan kekiri/kekanan mendatar bila berbicara, berbicara sedang-sedang saja. Siswa yang bertipe auditori mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui
telinga (alat pendengarannya), untuk itu maka guru sebaiknya harus
memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Anak yang mempunyai gaya
belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal
dan mendengarkan apa yang guru katakan. Anak auditori dapat mencerna makna yang
disampaikan melalui nada suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara
dan hal-hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang
minim bagi anak auditori mendengarkannya. Anak-anak seperi ini biasanya dapat
menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.
Ciri-ciri gaya belajar auditori :
a. Saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri
b.
Penampilan rapi
c.
Mudah terganggu oleh keributan
d. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan dari pada yang dilihat
e. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
f.
Menggerakkan bibir mereka dan
mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
g.
Biasanya dia pembicara yang fasih
h. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
i.
Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
j.
Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visual
k.
Berbicara dalam irama yang terpola
l.
Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori :
1.
Ajak anak untuk ikut
berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga.
2.
Dorong anak untuk membaca materi
pelajaran dengan keras.
3.
Gunakan musik untuk mengajarkan
anak.
4. Diskusikan ide dengan anak secara verbal.
5. Biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan
dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.
3. Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh)
Lirikan kebawah bila berbicara, berbicara lebih lambat. Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh,
dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam karena
keinginan mereka untuk beraktifitas dan eksplorasi sangatlah kuat. Siswa yang
bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan.
Ciri-ciri gaya belajar kinestetik :
a.
Berbicara perlahan
b.
Penampilan rapi
c. Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan
d.
Belajar melalui memanipulasi dan
praktek
e. Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
f. Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca
g.
Merasa kesulitan untuk menulis tetapi
hebat dalam bercerita
h.
Menyukai buku-buku dan mereka
mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
i.
Menyukai permainan yang
menyibukkan
j.
Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di
tempat itu
k.
Menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka
l.
Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak kinestetik :
1. Jangan paksakan anak untuk belajar sampai berjam-jam.
2. Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi
lingkungannya (contohnya: ajak dia baca sambil menggunakan obyek sesungguhnya
untuk belajar konsep baru).
3. Izinkan anak untuk mengunyah permen karet pada saat
belajar.
4.
Gunakan warna terang untuk
mengcatat hal-hal penting dalam bacaan.
5.
Izinkan anak untuk belajar sambil
mendengarkan musik.
C. PENGERTIAN LEARNING DISABILITIES
Secara harfiah kesulitan belajar
merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar, kata disability diterjemahkan “kesulitan”
untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar.
Secara istilah juga terdapat
banyak perbedaan dalam mendefinisikannya, yaitu : 1. Menurut Sunarta (1985:7) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesulitan
belajar adalah “kesulitan yang dialami oleh siswa-siswi dalam kegiatan belajarnya, sehingga berakibat
prestasi belajarnya rendah dan perubahan tingkah laku yang terjadi tidak sesuai dengan partisipasi yang
diperoleh sebagaimana teman-teman kelasnya. 2. Kesulitan
belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori
maupun ekspresif di dalam proses belajar. Kendatipun gangguan ini bisa terjadi
di dalam berbagai tingkat kecerdasan, namun ‘kesulitan belajar’ lebih terkait
dengan tingkat kecerdasan normal atau bahkan diatas normal. Anak-anak yang
berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan
fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan
dalam kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini nampak ketika anak mulai
mempelajari mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung, dan
mengeja.
Definisi federal
yang dimaksud dengan istilah-istilah “ketidakmampuan belajar” adalah suatu
ketidakberaturan pada satu atau lebih proses psychologikal dasar yang melibatkan
pengertian atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan, yang dapat menunujukkan
ketidaksempurnaan kemampuan untuk mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca,
menulis, mengeja atau membuat perhitungan matematik. Termasuk didalamnya adalah
kondisi-kondisi seperti kemampuan persepsi, kerusakan otak, ketidakberfungsian
otak secara minimal, dyslexia, dan perkembangan aphasia. Tidak termasuk
didalamnya adalah permasalahan belajar yang disebabkan oleh penglihatan,
pendengaran, gerak, atau keterbelakangan mental, atau gangguan emosi, atau yang
disebabkan oleh ketidakberuntungan secara lingkungan, kultur, atau ekonomi (Amandement IDEA, 1997).
Definisi National Joint
Commute on Learning Disabilities (NJCLD) ketidakmampuan belajar adalah istilah umum yang merujuk
kepada kelompok heterogen dari kekacauan yang ditunjukkan dengan kesulitan
nyata pada penguasaan dan penggunaan kemampuan mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis, menalarkan dan matematik. Kekacauan ini merupakan bagian dari
individu, dan disimpulkan disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem nery pusat,
dan dapat terjadi seumur hidup. Permasalahan dalam perilaku pribadi, persepsi
sosial, dan interaksi sosial dapat terjadi pada ketidakmampuan belajar namun tidak
dengan sendirinya menjadi ketidakmampuan belajar. Walaupun ketidakmampuan
belajar dapat terjadi berdampingan dengan kondisi-kondisi cacat lainnya (misalnya,
kerusakan sensori, keterbelakangan mental, gangguan emosi yang serius) atau
dengan pengaruh luar (seperti pembedaan kultur, petunjuk yang tidak cukup atau
tidak benar), mereka bukanlah akibat dari kondisi-kondisi atau pengaruh-pengaruh
tersebut (NJCLD, 1990).
Kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam satu atau
lebih proses psikologis dasar dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut berupa kesulitan mendengarkan,
berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Masalah utamanya
akibat adanya gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia
perkembangan, namun tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar
yang berasal dari hambatan penglihatan, pendengaran, motorik, tuna grahita,
gangguan emosional, kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi (The United States Office of Education, 1977
dalam Hallahan, Kauffman, LIoyd, 1985).
D. MACAM-MACAM
LEARNING DISABILITIES
1. Disgrafia (gangguan menulis)
Disgrafia adalah sebuah
kekurangan dalam kemampuan untuk menulis, terlepas dari kemampuan untuk membaca, bukan karena
kerusakan intelektual dan mungkin karena kelainan neurologis yang menghambat
kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat
memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk.
Ciri-ciri disgrafia :
a. Terdapat
ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
b.
Saat menulis, penggunaan huruf
besar dan huruf kecil masih tercampur.
c. Ukuran dan
bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
d. Anak
tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau
pemahamannya lewat tulisan.
e. Sulit
memegang bolpoint maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis
seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
f. Berbicara
pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan
tangan yang dipakai untuk menulis.
g.
Cara menulis tidak konsisten,
tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
h.
Tetap mengalami kesulitan meskipun
hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
2.
Disleksia (gangguan membaca)
Disleksia adalah kesulitan untuk
memaknai simbol, huruf, dan angka melalui persepsi visual dan auditoris. Hal
ini akan berdampak pada kemampuan membaca pemahaman. Penyandang disleksia tidak hanya
mengalami kesulitan dalam membaca, tetapi juga dalam hal mengeja, menulis, dan
beberapa aspek bahasa yang lain. Disleksia dibedakan menjadi dua, yaitu developmental
dan acquired.
Ciri-ciri
disleksia :
a. Penambahan
(Addition)
Menambahkan
huruf pada suku kata. Contoh : suruh è disuruh; gula
è gulka; buku è bukuku
b. Penghilangan
(Omission)
Menghilangkan
huruf pada suku kata. Contoh : kelapa è lapa; kompor è kopor; kelas è kela
c. Pembalikan
kiri-kanan (Inversion)
Membalikkan
bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik kiri-kanan. Contoh
: buku è duku; palu è lupa
d. Pembalikan
atas-bawah (Reversal)
Membalikkan
bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas-bawah. Contoh : m è w; uè n; nana è uaua; mama è wawa; 2 è 5; 6 è 9
e. Penggantian
(Substitusi)
Mengganti
huruf atau angka. Contoh : mega è meja; nanas è mamas
3. Diskalkulia (gangguan berhitung)
Diskalkulia adalah kesulitan dalam menggunakan
bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang
berkaitan dengan kuantitas atau jumlah. Kesulitan berhitung dapat dikelompokkan
menurut tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan
nilai tempat, kemampuan melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan dengan
atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian.
Ciri-ciri
diskalkulia :
a.
Mengelompokkan
(classification), yaitu kemampuan mengelompokkan objek sesuai warna, bentuk,
maupun ukurannya.
b.
Membandingkan
(comparation), yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas dari dua
buah objek.
c. Mengurutkan (seriation),
yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua buah objek.
Pola pengurutannya sendiri bisa dimulai dari yang paling minimal ke yang paling
maksimal atau sebaliknya.
d. Menyimbolkan (simbolization),
yaitu kemampuan membuat simbol atas kuantitas yang berupa angka/bilangan
(0-1-2-3-4-5-6-7-8-9) atau simbol tanda operasi dari sebuah proses berhitung
seperti tanda + (penjumlahan), -
(pengurangan), x (perkalian), atau ÷ (pembagian), < (kurang dari), >
(lebih dari), dan = (sama dengan) dan lain-lain.
e. Konservasi, yaitu
kemampuan memahami, mengingat, dan menggunakan suatu kaidah yang sama dalam
proses/operasi hitung yang memiliki kesamaan. Bentuk konkret dari konservasi
adalah penggunaan rumus atau kaidah suatu operasi hitung.
E.
MULTIPLE INTELLIGENCES
Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat
mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik.
Howard Gardner
(1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini
dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan
kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang.
Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan
matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual
spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
dan kecerdasan naturalis.
Secara rinci masing-masing kecerdasaan
tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Kecerdasan matematika-logika
Kecerdasan
matematika-logika menunjukkan kemampuan seseorang dalam berpikir secara
induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan
menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan
kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan matematika-logika tinggi
cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat
terjadinya sesuatu.
2. Kecerdasan bahasa
Kecerdasan
bahasa menunjukkan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata,
baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya.
3. Kecerdasan musikal
Kecerdasan
musikal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara
nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan
irama.
4. Kecerdasan visual-spasial
Kecerdasan
visual-spasial menunjukkan kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih
mendalam hubungan antara objek dan ruang.
5. Kecerdasan kinestetik
Kecerdasan
kinestetik menunjukkan kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian
atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah.
6. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan
interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain
sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya.
7. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan
intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun
kelemahan yang ada pada dirinya sendiri.
8. Kecerdasan naturalis
Kecerdasan
naturalis menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam,
misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung,
cagar alam, atau hutan.
F. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MASA
REMAJA
1.
Perkembangan
kognitif
·
(PIAGET) tahap operasional formal
(operasi = kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan)
·
Dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak,
sistematis, ilmiah dalam memecahkan dari pada berpikir konkrit
·
Usia 16 tahun berat otak sudah
menyamai orang dewasa
·
Terjadinya lingkaran Lobe Frontal
yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi (merumuskan perencanaan
strategis atau mengambil keputusan)
·
Cara berpikir berkaitan erat dengan
dunia kemungkinan (word of possibilities)
·
Kemampuan nalar secara ilmiah
melalui pengujian secara hipotesis
·
Sudah memikirkan tentang masa
depan dengan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya
·
Menyadari proses kognitif itu efisien atau tidak efisien
·
Berpikir semakin luas, bisa
meliputi aspek agama, keadilan, moralitas, dan ide
2.
Perkembangan
emosi
· Masa
puncak emosionalitas (perkembangan emosi yang tinggi)
· Pertumbuhan
fisik (terutama organ-organ seksual) mempengaruhi perkembangan emosi
atau perasaan, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan
· Perkembangan
emosi yang sensitif dan reaktif terhadap situasi social
· Emosi
bersifat negatif dan tempramental (mudah tersinggung/marah, atau mudah sedih/murung)
·
Remaja akhir (21 tahun) sudah dapat mengendalikannya
· Mencapai
kematangan emosional merupakan masa yang sangat sulit bagi remaja
·
Faktor kondisi sosiol-emosional lingkungan keluarga dan teman sebaya
dalam kematangan emosionalitas
3.
Perkembangan social
·
Berkembang “social cognition”
kemampuan memahami orang lain (hubungan akrab: persahabatan/pacaran)
·
Pemilihan persahabatan dengan
kualitas psikologis yang relative sama dengan dirinya (interes, sikap,
nilai, kepribadian)
·
Berkembang sikap “conformity”
kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan,
kegemaran atau keinginan teman sebaya
·
Harus memiliki “social adjusment”
yang tepat (kemampuan mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial,
situasi dan relasi)
Karakteristik penyesuaian social remaja :
a.
Di lingkungan keluarga
·
menjalin hubungan yang baik
dengan anggota keluarga (orang tua
dan saudara)
·
menerima otoritas orang tua (mau
mentaati peraturan yg ditetapkan
orang tua)
· menerima tanggung jawab batasan-batasan (norma) keluarga
· berusaha untuk membantu anggota keluarga, sebagai individu maupun kelompok dalam
mencapai tujuannya
b.
Di lingkungan sekolah
· bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah
·
berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan sekolah
· menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
· bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya
·
membantu sekolah dalam
merealisasikan tujuan-tujuannya
c.
Di lingkungan masyarakat
·
mengakui dan respek terhadap
hak-hak orang lain
·
memelihara jalinan persahabatan dengan
orang lain
·
bersikap simpati terhadap
kesejahteraan orang lain
·
bersikap respek terhadap
nilai-nilai, hukum, tradisi, dan
kebijakan-kebijakan masyarakat. Seperti (Alexander A. Schneiders dlm bukunya “Personal Adjusment and Mental Healt”)
4.
Perkembangan
moral
·
Tingkat moralitas remaja sudah
lebih matang hasil interaksi sosial dengan orang tua, guru, teman
sebaya, atau orang dewasa lainnya
·
Konsep moralitas tentang kejujuran, keadilan, kesopanan, dan
kedisiplinan
·
Perilaku moralitas sebagai pemenuhan fisik dan psikologisnya (adanya
rasa puas dari penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang
perbuatannya)
·
Tingkatan moralitas konvensional (berperilaku sesuai dengan harapan
kelompok)
·
Tingkatan moralitas loyalitas (loyalitas
terhadap norma yang berlaku dan diyakininya)
5.
Perkembangan
kepribadian
·
Kepribadian merupakan sistem
dinamis dari sifat, sikap, dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat
konsistensi respon individu yang beragam
·
Berkembangnya “identity” (jati
diri) kesadaran diri, kemampuan mengidentifikasi orang lain, mempelajari
tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam kebudayaannya
·
Saat pertama usaha sadar dalam
menjawab “who am I?”
James Marcia, mengemukakan 4 alternatif dalam menguji diri dan pilihannya :
a. “identity
achievement” memahami pilihan yang realistik, maka membuat pilihan dan
berperilaku sesuai dengan pilihannya
b. “identiy
foreclosure” menerima pilihan orang tua tanpa mempertimbangkan
pilihan-pilihan
c. “identity
diffusion” kebingungan tentang siapa dirinya, dan mau apa dalam hidupnya
d. “moratorium”
usaha-usaha aktif remaja dalam menghadapi krisis pembentukan identitas
diri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar