Daftar Isi
Standar
Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
3. Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
|
3.1
Mendeskripsikan pengertian,
fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.
3.2
Menganalisis pers yang bebas
dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis
di Indonesia.
3.3
Mengevaluasi kebebasan pers dan
dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di
Indonesia.
|
1. Pengertian
Pers
Secara
Etimologis, (etimologis adalah
sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang asal usul istilah kata) kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau presse (Prancis), pressare (Latin) yang berarti media massa cetak.
Menurut
Weiner, pers adalah media
cetak (tertulis).
Menurut
Oemar Seno Adji, pers
dalam arti sempit adalah media cetak, contohnya : koran, majalah. Sedangkan,
pers dalam arti luas adalah media cetak dan elektronik, contohnya : tulisan
(koran) dan lisan (radio).
Menurut
Undang-Undang No. 40 Tahun
1999
tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik. (kegiatan jurnalistik adalah kegiatan
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menginformasikan baik
dari media cetak maupun media elektronik).
Dari
pengertian pers menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Dalam arti sempit, pers menunjuk
pada wahana/media komunikasi massa baik yang cetak maupun elektronik.
Sedangkan, Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata
sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan informasi.
Berdasarkan ilmu komunikasi,
pers yaitu :
a.
Usaha percetakan
dan penyiaran berita
b.
Usaha
pengumpulan dan penyiaran berita
c.
Media penyiaran
berita melalui surat kabar, radio, televise, dan internet
d.
Orang-orang yang
bergerak dalam penyiaran berita
2. Fungsi Pers
Pers
sebagai “watchdog” yaitu mata dan
telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dini, pembentuk opini, dan
mengarah agenda masa depan.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No.40
Tahun 1999 tentang pers, disebutkan bahwa fungsi pers sebagai
berikit :
1) Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial.
2) Pers
nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Penjelasan :
a) Sebagai Media Informasi
: menyajikan informasi karena masyarakat
memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di masyarakat dan negara.
b) Sebagai Media Pendidikan
: sebagai sarana pendidikan massa (mass
education), maka pers itu memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan
sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
c) Sebagai Media Hiburan
: hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi
berita-berita berat (hard news) dan
artikel-artikel yang berbobot. Hiburan
dapat berupa cerita pendek, cerita bergambar, cerita bersambung, teka-teki
silang, pojok, karikatur.
d) Sebagai Media
Kontrol Sosial : sikap pers dalam melaksanakan
fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki
keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik, baik langsung
atau tidak langsung terhadap aparatur Negara dan lembaga masyarakat. Yang
didalamnya terdapat unsure-unsur :
1) Social
participation (keikutsertaan rakyat dalam
pemerintahan)
2) Social
responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap
rakyat)
3) Social support
(dukungan rakyat terhadap pemerintah)
4) Social control
(control masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)
e) Sebagai Media
Lembaga Ekonomi : pers adalah sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga
menghasilkan produk yang namanya
“berita” yang diminati masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas beritanya maka semakin
tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers membutuhkan
biaya untuk kelangsungan hidupnya.
3. Peranan
Pers
Menurut
Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan
peranan sebagai berikut :
1) Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
2) Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3) Melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
4) Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
5) Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
4. Perkembangan
Pers di Indonesia
Dr.
Krisna Harahap membagi perkembangan pers di Indonesia menjadi lima, yaitu :
a) Era
Kolonial, sampai dengan tahun 1945.
b) Era
Demokrasi Liberal, tahun 1945 - 1959.
c) Era
Demokrasi Terpimpin, tahun 1959 - 1966.
d) Era
Orde Baru, tahun 1966 - 1998.
e) Era
reformasi, tahun 1998 - Sekarang.
Penjelasan :
1) Era Kolonial,
sampai dengan tahun 1945
Belanda
membuat Undang-Undang untuk membendung pengaruh pers, antara lain Persbreidel Ordonantie, yang memberikan
hak kepada pemerintah penjajah Belanda
untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap
berbahaya. Kemudian Haatzai Atekelen, adalah pasal yang memberi ancaman hukuman
terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, serta penghinaan
terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda.
Di Zaman pendudukan Jepang
yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers)
Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya tetapi melalui
organisasi keagamaan, pendidikan, politik, sebab kehidupan pers pada zaman
Jepang sangat tertekan.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh
Bung Karno, telah terjadi perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja di Bandung, dan Sinar Baroe di Semarang. Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus
1945 memuat berita sekitar Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan
UUD, Lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan alat mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang.
2) Era Demokrasi
Liberal, tahun 1945 - 1959
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers
adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian
pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek
samping dari keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina, oleh karena
itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di Indonesia, sebab
pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong UUD, sehingga
pemerintah mengadakan pembreidelan pers namun tidak hanya kepada pers asing
saja.
Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris
Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain ”…khusus di bidang pers beberapa pembatasan
perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
3) Era Demokrasi
Terpimpin, tahun 1959 - 1966
Beberapa hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan
kembali ke UUD 1945, tindakan penekanan pers terus berlangsung, yaitu
penutupan Kantor Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan
Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya dalam membatasi kebebasan pers tercermin dalam
pidato Menteri Muda Penerangan yaitu Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan
RI ke – 14, menyatakan “…Hak kebebasan
individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan
sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan Negara,
kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab
kepada Tuhan YME…”
Pada awal tahun 1960, penekanan pers diawali dengan
peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah
tegas terhadap surat kabar, majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak
mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Para wartawan harus mendukung politik
pemerintah dan pengambilalihan percetakan oleh pemerintah.
4) Era Orde Baru,
tahun 1966 - 1998
Pemerintahn Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan
membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru
sangat mementingkan pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers
(Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila, adalah pers Indonesia dalam arti
pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers Pancasila, adalah pers yang sehat dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, kontrol sosial yang konstruktif.
Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok Pers No.
11 tahun 1966, yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga
Negara punya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak
diperlukan surat ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasn pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun,
sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974)
disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang
menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan
demontrasi pada pemerintah orde baru. Oleh karena itu beberapa surat kabar
dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah
permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
Pers setelah peristiwa malari cenderung pers yang
mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak menjalankan fungsi
kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa demokrasi terpimpin,
hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai institusi politik yang
harus diatur dan dikontrol.
5) Era Reformasi,
tahun 1998 - sekarang
Kalangan pers dapat bernapas lega ketika di era reformasi
ini mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40
tahun 1999 tentang pers. Dalam UU pers tersebut dijamin bahwa kemerdekaan pers
sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4).
Jadi tidak perlu surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dalam UU ini juga
dijamin tidak ada penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran
sebagaimana bunyi pasal 4 (ayat 2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan
utuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi
keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan
dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas
sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan
pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku
atau dapat dibatalkan demi keamanan, keselamatan Negara, atau ketertiban umum
yang dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
Dengan adanya kebebasan pers maka tantangan terberat
adalah datang dari kebebasan pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang
wartawan atau sebuah perusahaan penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan
itu dengan tidak menerima pemberian atau godaan-godaan material yang
berhubungan dengan sebuah berita atau publikasi sebuah berita.
5. Pers yang
Bebas dan Bertanggung Jawab Sesuai Kode Etik Jurnalistik
Menurut
Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 7 Ayat 2, kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati
organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, norma tertulis
yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan.
Penyimpangan Kode Etik
Jurnalistik, sebagai berikut :
a)
Sumber Imajiner
Artinya, berita yang berasal dari sumber yang tidak
ada atau dengan kata lain, berasal dari hasil rekayasa wartawan yang menulis
berita tersebut.
b)
Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
Artinya, wartawan dilarang untuk memuat nama dan
memasang foto korban atau pelaku kejahatan secara jelas di media, dengan maksud
untuk melindungi masa depan anak-anak yang masih dibawah umur tersebut.
c)
Tidak Paham Makna “Off
the Record”
Artinya, wartawan dilarang untuk menyiarkan bahan yang
diberikan oleh narasumber yang berkata bahwa informasi tersebut adalah off the
record.
d)
Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Artinya, wartawan harus bersikap ragu tentang
informasi yang diberikan narasumber tersebut sampai informasi tersebut dapat
dibuktikan kebenarannya. Kalau informasi tersebut tidak disertai fakta, maka
belum layak untuk disiarkan.
e)
Melanggar Hak Properti Pribadi
Artinya, wartawan dilarang memasuki rumah seorang
narasumber tanpa izin.
f)
Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Artinya, gambar ilustrasi yang dipasang harus sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga tidak
menimbulkan salah pengertian antara maksud dari wartawan tersebut dengan
pendapat masyarakat yang melihat berita tersebut yang mengkaitkan antara gambar
dengan isi berita tersebut.
g)
Wawancara Fiktif
Artinya, wartawan dilarang untuk meyiarkan berita yang
merupakan hasil dari rekayasa, karena tindakan ini termasuk dalam pemberitaan
bohong dan juga dapat menjadi fitnah yang sangat merugikan.
h)
Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
Artinya, wartawan dalam menyiarkan berita harus
berdasarkan akal sehat, dan harus terbukti kebenaraanya. Dengan cara bersikap
skeptis dulu terhadap informasi yang tidak masuk akal kemudian membuktikan
apakah benar atau tidaknya hal tersebut. Sehingga didapat fakta yang
sebenarnya.
i)
Sumber Berita Tidak Jelas
Artinya, wartawan dilarang untuk meyiarkan berita
tanpa mengecek darimana asal usul berita tersebut dan wajib untuk mengecek kebenarannya
terlebih dahulu.
j)
Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar Hak Jawab
Artinya, hak publik dalam membela kepentingan mereka
terhadap informasi yang merugikan mereka atau kelompoknya. Sehingga pers wajib
melayani hak jawab tersebut.
k)
Membocorkan Identitas Narasumber
Artinya, wartawan dilarang untuk membocorkan identitas
dari narasumber dengan alasan keselamatannya. Karena wartawan mempunyai hak
tolak yang dapat dipakai untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber.
Sehingga kalau ada yang menanyakan sumber informasi ini, wartawan berhak
menolak untuk menyebutkan.
6. Dampak
Penyalahgunaan Kebebasan Pers
No
|
Pihak
|
Dampak
|
|
Positif
|
Negatif
|
||
1
|
Individu
|
apabila suatu pemberitaaan dapat meningkatkan nilai positif
pribadinya, Sehingga akan mendorong masyarakat untuk berpendapat bahwa
dirinya adalah pribadi yang jujur dan benar.
|
Adapun pemberitaan itu akan menghancurkan nilai positif pribadinya
dimasyarakat sehingga mengakibatkan opini masyarakat yang tidak
baikterhadapnya. Hal itu akan berdampak pula pada aspek bisnis
|
2
|
Masyarakat
|
Apabila dapat menumbuhkan kesetiakawanan sosial dan mewujudkan
persatuan dan kesatuan serta menjaga keamanan, ketentraman, dan keteriban.
|
Apabila menyebabkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai luhur
budaya bangsa, sehingga menyebabkan hilangnya rasa kesetiakawanan sosial dan
pecahnya persatuan dan gangguan terhadap keamanan, ketentraman dan keteriban.
|
3
|
Negara
|
Apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan dan keberpihakan
rakyat kepada pemerintah, meembantu pelaksanaan pembangunan nasional agar
berjalan lancar dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan.
|
CASINO - JH Marriott-Maverick, Louisiana
BalasHapus› 강원도 출장마사지 casinotan 바카라 필승법 › www.jtm-maverick- 공주 출장안마 › 당진 출장마사지 casinotan › www.jtm-maverick- 경기도 출장샵