Selasa, 08 Desember 2015

PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS

Daftar Isi

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar

3.      Mengevaluasi peranan pers dalam  masyarakat demokrasi.

3.1  Mendeskripsikan pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.

3.2  Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

3.3  Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di Indonesia.


1.     Pengertian Pers

Secara Etimologis, (etimologis adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang asal usul istilah kata) kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau presse (Prancis), pressare (Latin) yang berarti media massa cetak.
Menurut Weiner, pers adalah media cetak (tertulis).
Menurut Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit adalah media cetak, contohnya : koran, majalah. Sedangkan, pers dalam arti luas adalah media cetak dan elektronik, contohnya : tulisan (koran) dan lisan (radio).
Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. (kegiatan jurnalistik adalah kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menginformasikan baik dari media cetak maupun media elektronik).
Dari pengertian pers menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Dalam arti sempit, pers menunjuk pada wahana/media komunikasi massa baik yang cetak maupun elektronik. Sedangkan, Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi.
Berdasarkan ilmu komunikasi, pers yaitu :
a.    Usaha percetakan dan penyiaran berita
b.   Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
c.    Media penyiaran berita melalui surat kabar, radio, televise, dan internet
d.   Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita

2.     Fungsi  Pers

Pers sebagai “watchdog” yaitu mata dan telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dini, pembentuk opini, dan mengarah agenda masa depan.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang pers, disebutkan bahwa fungsi pers sebagai berikit :
1)      Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2)      Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Penjelasan :
a)      Sebagai Media Informasi :  menyajikan informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di masyarakat dan negara.
b)     Sebagai Media Pendidikan : sebagai sarana pendidikan massa (mass education), maka pers itu memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
c)      Sebagai Media Hiburan : hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot.  Hiburan dapat berupa cerita pendek, cerita bergambar, cerita bersambung, teka-teki silang, pojok, karikatur.
d)     Sebagai Media Kontrol Sosial : sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik, baik langsung atau tidak langsung terhadap aparatur Negara dan lembaga masyarakat. Yang didalamnya terdapat unsure-unsur :
1)      Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)
2)      Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
3)      Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah)
4)      Social control (control masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)
e)      Sebagai Media Lembaga Ekonomi : pers adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan produk yang namanya  “berita” yang diminati masyarakat dengan nilai jual tinggi.  Semakin berkualitas beritanya maka semakin tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.

3.     Peranan Pers

Menurut Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
1)      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
2)      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3)      Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
4)      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
5)      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

4.     Perkembangan Pers di Indonesia

Dr. Krisna Harahap membagi perkembangan pers di Indonesia menjadi lima, yaitu :
a)      Era Kolonial, sampai dengan tahun 1945.
b)     Era Demokrasi Liberal, tahun 1945 - 1959.
c)      Era Demokrasi Terpimpin, tahun  1959 - 1966.
d)     Era Orde Baru, tahun 1966 - 1998.
e)      Era reformasi, tahun 1998 - Sekarang.
Penjelasan :
1)      Era Kolonial, sampai dengan tahun 1945
Belanda membuat Undang-Undang untuk membendung pengaruh pers, antara lain Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah  penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap berbahaya.  Kemudian Haatzai Atekelen, adalah pasal yang memberi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda.
            Di Zaman pendudukan Jepang yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya tetapi melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, sebab kehidupan pers pada zaman Jepang sangat tertekan.
            Beberapa hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh Bung Karno, telah terjadi perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja di Bandung, dan Sinar Baroe di Semarang.  Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita sekitar Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan UUD, Lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan alat mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang.
2)      Era Demokrasi Liberal, tahun 1945 - 1959
            Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950.  Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
            Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina, oleh karena itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di Indonesia, sebab pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong UUD, sehingga pemerintah mengadakan pembreidelan pers namun tidak hanya kepada pers asing saja.
            Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain ”…khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
3)      Era Demokrasi Terpimpin, tahun 1959 - 1966
            Beberapa hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan penekanan pers terus berlangsung, yaitu penutupan  Kantor Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
            Upaya dalam membatasi kebebasan pers tercermin dalam pidato Menteri Muda Penerangan yaitu Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan RI ke – 14, menyatakan “…Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan Negara, kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME…”
            Pada awal tahun 1960, penekanan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah tegas terhadap surat kabar, majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional.  Para wartawan harus mendukung politik pemerintah dan pengambilalihan percetakan oleh pemerintah.
4)      Era Orde Baru, tahun 1966 - 1998
            Pemerintahn Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru sangat mementingkan pemahaman tentang Pers Pancasila.  Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila, adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. 
            Hakekat Pers Pancasila, adalah pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, kontrol sosial yang konstruktif.
            Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga Negara punya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
            Kebebasn pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun, sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974) disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan demontrasi pada pemerintah orde baru. Oleh karena itu beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
            Pers setelah peristiwa malari cenderung pers yang mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa demokrasi terpimpin, hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai institusi politik yang harus diatur dan dikontrol.
5)      Era Reformasi, tahun 1998 - sekarang
            Kalangan pers dapat bernapas lega ketika di era reformasi ini mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU pers tersebut dijamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4).  Jadi tidak perlu surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dalam UU ini juga dijamin tidak ada penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana bunyi pasal 4 (ayat 2).
            Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan  utuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku atau dapat dibatalkan demi keamanan, keselamatan Negara, atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
            Dengan adanya kebebasan pers maka tantangan terberat adalah datang dari kebebasan pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang wartawan atau sebuah perusahaan penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan itu dengan tidak menerima pemberian atau godaan-godaan material yang berhubungan dengan sebuah berita atau publikasi sebuah berita.

5.     Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab Sesuai Kode Etik Jurnalistik

Menurut Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 7 Ayat 2, kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan.
Penyimpangan Kode Etik Jurnalistik, sebagai berikut :
a)      Sumber Imajiner
Artinya, berita yang berasal dari sumber yang tidak ada atau dengan kata lain, berasal dari hasil rekayasa wartawan yang menulis berita tersebut.
b)     Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
Artinya, wartawan dilarang untuk memuat nama dan memasang foto korban atau pelaku kejahatan secara jelas di media, dengan maksud untuk melindungi masa depan anak-anak yang masih dibawah umur tersebut.
c)      Tidak Paham Makna “Off the Record”
Artinya, wartawan dilarang untuk menyiarkan bahan yang diberikan oleh narasumber yang berkata bahwa informasi tersebut adalah off the record.
d)     Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Artinya, wartawan harus bersikap ragu tentang informasi yang diberikan narasumber tersebut sampai informasi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Kalau informasi tersebut tidak disertai fakta, maka belum layak untuk disiarkan.
e)      Melanggar Hak Properti Pribadi
Artinya, wartawan dilarang memasuki rumah seorang narasumber tanpa izin.
f)       Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Artinya, gambar ilustrasi yang dipasang harus sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian antara maksud dari wartawan tersebut dengan pendapat masyarakat yang melihat berita tersebut yang mengkaitkan antara gambar dengan isi berita tersebut.
g)      Wawancara Fiktif
Artinya, wartawan dilarang untuk meyiarkan berita yang merupakan hasil dari rekayasa, karena tindakan ini termasuk dalam pemberitaan bohong dan juga dapat menjadi fitnah yang sangat merugikan.
h)     Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
Artinya, wartawan dalam menyiarkan berita harus berdasarkan akal sehat, dan harus terbukti kebenaraanya. Dengan cara bersikap skeptis dulu terhadap informasi yang tidak masuk akal kemudian membuktikan apakah benar atau tidaknya hal tersebut. Sehingga didapat fakta yang sebenarnya.
i)        Sumber Berita Tidak Jelas
Artinya, wartawan dilarang untuk meyiarkan berita tanpa mengecek darimana asal usul berita tersebut dan wajib untuk mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
j)       Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar Hak Jawab
Artinya, hak publik dalam membela kepentingan mereka terhadap informasi yang merugikan mereka atau kelompoknya. Sehingga pers wajib melayani hak jawab tersebut.
k)     Membocorkan Identitas Narasumber
Artinya, wartawan dilarang untuk membocorkan identitas dari narasumber dengan alasan keselamatannya. Karena wartawan mempunyai hak tolak yang dapat dipakai untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber. Sehingga kalau ada yang menanyakan sumber informasi ini, wartawan berhak menolak untuk menyebutkan.

6.     Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers

No
Pihak
Dampak
Positif
Negatif
1
Individu
apabila suatu pemberitaaan dapat meningkatkan nilai positif pribadinya, Sehingga akan mendorong masyarakat untuk berpendapat bahwa dirinya adalah pribadi yang jujur dan benar.
Adapun pemberitaan itu akan menghancurkan nilai positif pribadinya dimasyarakat sehingga mengakibatkan opini masyarakat yang tidak baikterhadapnya. Hal itu akan berdampak pula pada aspek bisnis
2
Masyarakat
Apabila dapat menumbuhkan kesetiakawanan sosial dan mewujudkan persatuan dan kesatuan serta menjaga keamanan, ketentraman, dan keteriban.
Apabila menyebabkan hal-hal yang bertentangan  dengan nilai luhur budaya bangsa, sehingga menyebabkan hilangnya rasa kesetiakawanan sosial dan pecahnya persatuan dan gangguan terhadap keamanan, ketentraman dan keteriban.
3
Negara
Apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan dan keberpihakan rakyat kepada pemerintah, meembantu pelaksanaan pembangunan nasional agar berjalan lancar dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Apabila menyebabkan rakyaat tidak percaya dan tidak memberikan dukungan lagi terhadap pemerintah, kurang lancarnya pembangunan nasional dan memburuknya kondisi keamanan negara serta menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1 komentar: